Pada 3 Februari 2025, Senat Filipina mengesahkan rancangan undang-undang yang melarang ekspor bijih nikel. Rancangan undang-undang tersebut saat ini sedang ditinjau oleh komite bikameral dan belum disahkan menjadi undang-undang. Peninjauan selanjutnya terhadap rancangan undang-undang ini akan dilakukan setelah Kongres bersidang kembali pada bulan Juni. Sementara itu, Presiden Senat Filipina, Francis Escudero, menyatakan harapannya agar komite bikameral dapat bekerja sama dengan anggota dari Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk meninjau rancangan undang-undang tersebut.
Dalam sebuah pengarahan, Escudero menyatakan, "Saya berharap ini dapat diselesaikan selama masa reses sehingga kita dapat menyetujuinya saat bersidang kembali." Rancangan undang-undang ini bertujuan untuk mendorong pengembangan hilir dalam industri pertambangan dengan melarang ekspor bijih mentah. Jika disahkan menjadi undang-undang, aturan ini akan diberlakukan lima tahun kemudian untuk memberikan waktu bagi para penambang membangun fasilitas pengolahan. "Jika rancangan undang-undang ini disahkan, kita pada akhirnya akan memiliki kapasitas pengolahan bijih, yang akan menjadi transformasi bagi negara," kata Escudero, yang merupakan penyusun pembacaan ketiga dan versi akhir dari rancangan undang-undang tersebut.
Filipina adalah pemasok bijih nikel laterit terbesar kedua di dunia. Menurut statistik SMM, Filipina mengirimkan total 54 juta mt pada tahun 2024, di mana sekitar 43,5 juta mt dikirim ke Tiongkok dan 10,35 juta mt ke Indonesia.
Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah Filipina telah mencoba belajar dari Indonesia, pemasok nikel terbesar di dunia, untuk meningkatkan pendapatan pertambangan dengan mendorong para penambang berinvestasi dalam fasilitas pengolahan daripada hanya mengekspor bijih mentah. Namun, industri secara umum percaya bahwa Filipina relatif kecil kemungkinannya untuk sepenuhnya meniru larangan ekspor bijih Indonesia, terutama karena faktor-faktor berikut:
1. Infrastruktur yang Tertinggal: Infrastruktur Indonesia relatif lebih berkembang, mampu menarik investasi asing untuk mendukung peleburan dan pabrik hilir, sedangkan infrastruktur Filipina relatif kurang berkembang.
2. Sumber Daya Dasar: Indonesia memiliki sumber daya tenaga air dan batu bara yang relatif melimpah, sementara Filipina kekurangan sumber daya batu bara yang memadai dan tidak memiliki keunggulan harga. Selain itu, pasokan listriknya tidak stabil, dan harga listrik industri relatif tinggi.
3. Lingkungan Investasi yang Buruk: Kadar bijih nikel di Filipina relatif rendah, sehingga lebih cocok untuk hidrometalurgi dalam memproduksi MHP. Namun, hidrometalurgi memerlukan biaya investasi tinggi, waktu konstruksi yang lama, dan memiliki hambatan teknis tertentu.
4. Lingkungan Politik yang Berbeda: Ekonomi Filipina bergantung pada ekspor pertambangan, dan kelompok kepentingan pertambangan memiliki pengaruh signifikan dalam politik. Pada bulan Februari, setelah usulan rancangan undang-undang ini, Kamar Pertambangan Filipina dan Asosiasi Industri Nikel Filipina menyatakan bahwa larangan ekspor yang diusulkan "akan menyebabkan penutupan tambang" dan "mengurangi pendapatan pemerintah serta aktivitas ekonomi di komunitas pertambangan." Kelompok kepentingan lokal mungkin kemudian menjadi hambatan utama dalam pelaksanaan rancangan undang-undang ini. Sebaliknya, situasi politik Indonesia relatif stabil, dan pemerintah memiliki kapasitas untuk menerapkan kebijakan larangan ekspor pertambangan.
5. Pengembangan Industri: Pasar nikel global sedang mengalami surplus pasokan. Tata letak integrasi nikel oleh perusahaan-perusahaan terkemuka dalam sumber daya nikel telah mencapai tahap akhir. SMM memprediksi bahwa surplus pasokan global sumber daya nikel akan meningkat pada tahun 2025 dan seterusnya. Jika Filipina menerapkan larangan pertambangan untuk mengembangkan industri hilir, negara ini akan menghadapi tantangan seperti ruang pasar yang terbatas, kesulitan dalam memastikan profitabilitas, dan tantangan dalam menarik investasi perusahaan.
Selain itu, pada paruh kedua tahun 2016, Filipina mencoba mengatur industri pertambangan dengan perlindungan lingkungan sebagai titik awal, tetapi akhirnya tidak berhasil.
Sebagai kesimpulan, SMM memprediksi bahwa penandatanganan rancangan undang-undang ini menjadi undang-undang akan menghadapi tantangan yang signifikan.