Sejak 2024, pasar alumina global menghadapi gangguan pasokan yang sering terjadi, termasuk tetapi tidak terbatas pada penutupan kilang Kwinana milik Alcoa dan force majeure di pabrik Rio Tinto di Queensland, Australia. Perkembangan terbaru di Guinea menambah volatilitas baru: pada awal Oktober, pemerintah Guinea menghentikan ekspor bauksit dari anak perusahaan Emirates Global Aluminium (EGA), Guinea Alumina Corporation (GAC), memicu lonjakan baru dalam harga alumina. Kontrak utama alumina di Shanghai Futures Exchange (SHFE) (Alumina 2501) mencapai rekor tertinggi 5,055 yuan/t pada 28 Oktober, indeks alumina SMM (harga spot) juga mencapai rekor tertinggi 5,168 yuan/t pada 4 November, naik 71,7% dibandingkan hari yang sama tahun lalu.
Meskipun GAC menandatangani MOU dengan pemerintah Guinea untuk pengembangan kilang alumina berkapasitas 1 juta ton pada Juni 2024, penangguhan ekspor mungkin terkait dengan hal ini. Namun, kami percaya ada sesuatu yang belum terselesaikan antara EGA dan pemerintah setempat.
EGA kini sedang bernegosiasi dengan otoritas Guinea untuk menyelesaikan penangguhan tersebut. GAC, yang memproduksi sekitar 1,2 juta ton bauksit per bulan untuk ekspor, memasok kilang Al Taweelah milik EGA di UEA dan memiliki pasokan 3 juta ton dengan kilang Lanjigarh milik Vedanta di bawah kontrak jangka panjang. Pembicaraan yang berkepanjangan dapat mempengaruhi operasi pabrik-pabrik tersebut dan dapat mengurangi produksi, bahkan mendorong kenaikan harga lebih lanjut.
Guinea, pemasok bauksit utama dunia, menyumbang 32% dari pasokan global, membuat setiap perubahan dalam kebijakan ekspornya signifikan. China memproduksi hampir 60% alumina global dan sekitar 73,39% impor bauksit dari negara Afrika Barat tersebut.
Dalam beberapa tahun terakhir, Guinea berusaha mendorong perusahaan asing untuk membangun kilang lokal guna memperpanjang rantai nilai aluminium dan menghasilkan produk bernilai tambah. Meskipun beberapa perjanjian telah ditandatangani, belum ada kilang alumina baru yang dibangun.
Negosiasi yang sedang berlangsung antara EGA dan pemerintah Guinea telah menimbulkan pertanyaan di pasar: akankah Guinea memberlakukan larangan ekspor bauksit yang lebih luas, mirip dengan langkah Indonesia pada 2023, untuk merangsang investasi asing?
Pengalaman Indonesia dengan Larangan Ekspor Penuh
Indonesia memberlakukan larangan ekspor bauksit pada Juni 2023, bertujuan untuk merangsang investasi di industri alumina domestik dengan membatasi ekspor bahan mentah. Langkah ini didasarkan pada pengalaman sukses industri nikel. Pada 2020, Indonesia melarang ekspor bijih nikel untuk menarik investor asing, mengembangkan kemampuan pengolahan nikel domestik. Menurut Pemerintah Indonesia, larangan tersebut membantu meningkatkan nilai ekspor nikel dari 17 triliun rupiah ($1,6 juta) pada akhir 2014 menjadi 326 triliun rupiah ($31,1 juta) pada 2021 — peningkatan 19 kali lipat.
Namun, larangan ekspor bauksit belum memberikan efek yang diinginkan, sebagian karena ketersediaan bauksit dari sumber lain, seperti Guinea dan Australia. Dengan kapasitas pengolahan yang beroperasi hanya 4,3 juta ton di Indonesia, negara ini belum mampu menyerap output bauksit yang sebelumnya dialokasikan untuk ekspor. Sebelum larangan, Indonesia memproduksi lebih dari 21 juta ton bauksit per tahun, dengan 19 juta ton bauksit diekspor ke China. Pasar domestik yang terbatas telah membebani keuangan penambang lokal, dan beberapa telah melobi pemerintah untuk melonggarkan larangan tersebut. Namun, pemerintah tampaknya tidak mungkin mencabut kebijakan tersebut.
Kabar baiknya adalah, meskipun penambang harus mengorbankan beberapa kepentingan jangka pendek mereka, ada lebih banyak kilang alumina yang sedang dalam proses. Kilang berkapasitas 1 juta ton dari Mempawah SGAR mulai beroperasi pada September 2024, dan kilang berkapasitas 1 juta ton milik Jinjiang Group diharapkan mulai beroperasi pada awal 2025. Proyek ekspansi berkapasitas 2 juta ton milik Nanshan Group sedang berlangsung dan diperkirakan akan mulai produksi antara 2025 dan 2026. Selain itu, kilang berkapasitas 1 juta ton milik Tianshan mungkin mulai beroperasi setelah 2026.
Menurut perkiraan SMM, jika proyek kapasitas baru berjalan sesuai rencana, total kapasitas alumina bisa mencapai setidaknya 10 juta ton pada 2027.
Tantangan Unik Guinea
Berbeda dengan Indonesia, Guinea menghadapi tantangan yang lebih besar dalam mengembangkan industri hilirnya. Data Bank Dunia menunjukkan PDB per kapita Guinea pada 2023 sekitar $1,664 — jauh di bawah $4,941 milik Indonesia. Ini mencerminkan masalah ekonomi yang lebih luas, termasuk infrastruktur terbatas, akses energi terbatas, dan kekurangan tenaga kerja terampil. Kilang alumina membutuhkan energi dan bahan lain yang signifikan, yang harus diimpor, menambah beban logistik dan biaya yang substansial.
Menurut International Trade Centre, ekspor bauksit Guinea bernilai sekitar $7 miliar pada 2023, menyumbang sekitar 77,7% dari total pendapatan ekspor negara tersebut. Ini menjadikan ekspor bauksit sebagai pilar ekonomi penting yang tidak mudah ditinggalkan oleh Guinea.
Kendala Strategis vs. Larangan Ekspor Penuh
Indonesia sebenarnya telah mencoba strategi serupa sebelum larangan ekspor bauksit pada 2023. Pada 2009, pemerintah memberlakukan Undang-Undang Pertambangan No. 4, yang bertujuan menghentikan ekspor bijih mentah. Namun, karena kapasitas pengolahan domestik yang terbatas, pemerintah melanjutkan ekspor bauksit pada awal 2017 untuk mengakomodasi kelebihan pasokan.
Bahkan Indonesia, dengan ekonomi yang lebih kuat daripada Guinea, berjuang untuk memberlakukan larangan penuh tanpa sektor hilir yang sepenuhnya berkembang. Bagi Guinea, mencapai larangan ekspor komprehensif bahkan kurang layak di bawah kondisi saat ini.
Dari perspektif SMM, Guinea mungkin menggunakan pembatasan ekspor selektif sebagai pendekatan strategis untuk mendorong investasi dalam proyek kilang alumina, daripada memberlakukan larangan ekspor penuh. Larangan ekspor yang ketat dapat membebani ekonomi Guinea dan tidak dapat mencapai target pengembangannya.
Penelitian SMM menunjukkan bahwa beberapa investasi besar sudah sedang berlangsung. Setelah kesepakatan GAC untuk membangun kilang alumina berkapasitas 1 juta ton, SMB bermitra dengan Alteo menandatangani proyek serupa berkapasitas 1 juta ton. Selain itu, perusahaan-perusahaan Tiongkok dengan operasi penambangan di Guinea merencanakan kilang berkapasitas 3 juta ton dengan persetujuan regulasi yang sedang diproses.
Ke depan, Guinea mungkin mempertimbangkan kebijakan ekspor yang fleksibel, seperti pengurangan kuota atau pajak bertahap, untuk mengarahkan perusahaan asing menuju investasi lokal sambil menjaga stabilitas ekonomi. Sebagai tanggapan, perusahaan pertambangan harus mempertimbangkan potensi gangguan pasokan bauksit dan memenuhi komitmen mereka terhadap proyek kilang alumina dan infrastruktur di Guinea. Pendekatan ini dapat menciptakan hasil yang saling menguntungkan bagi Guinea dan investornya.